ArtikelBadan OtonomIPNUKeislaman
Trending

Metodologi Ushul Fiqh dalam Memahami Ayat Ahkam

Oleh: Alfaenawan (Anggota Dept. Kaderisasi PC IPNU Kulon Progo & Kader PMII Rayon Ashram Bangsa)

Ijtihad sebagai metode dalam melakukan istimbat al-ahkam pada dasarnya tidak hanya dilakukan pada saat ini, melainkan pada masa Nabi juga pernah terjadi ijtihad. Hanya saja, mekanisme ijtihad belum sistematis sebagaimana perkembangan saat ini. Nabi menyambut gembira ketika mengetahui tekad Mu’adz bin Jabal dalam berijtihad ketika menjadi qadhi di Yaman. Dengan demikian, ijtihad pada masa Nabi saja diperbolehkan, apalagi ijtihad pasca Nabi wafat justru akan sangat diperlukan. Karena dalam menghadapi suatu permasalahan sudah tidak bisa ditanyakan langsung kepada Nabi dan perubahan dinamika kehidupan yang berkembang pesat, sehingga membutuhkan solusi atas berbagai permasalahan tersebut. Dengan demikian, tidak heran bahwa seorang teolog Al-Syahristani mengatakan,

لنصوص اذا كانت متناهية والوقائع غير متناهية وما لا يتناهى علم قطعا ان الاجتهاد والقياس واجب الاعتبار حتى يكون بصدد كل حادثة اجتهاد

“Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat dihitung. Sementara setiap peristiwa tersebut tidak selalu ada di dalam nash. Jika nash itu terbatas dan yang terbatas tidak mungkin menampung yang tidak terbatas. Maka metode aqliyah (intelektual, ijtihad) dan pendekatan analogi adalah suatu keniscayaan, sehingga setiap peristiwa memiliki hukum yang jelas.”

Ilmu yang mempelajari metode ijtihad ini adalah  Ushul fiqh atau turuq al-istismar yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali. Metode ini merupakan disiplin ilmu yang diperlukan bagi umat Islam, karena dalam memahami al-Qur’an yang berisi 30 juz itu membutuhkan berbagai kerangka ilmu salah satunya adalah ushul fiqh. Selain itu, sebagai metodologi untuk menganalisis ayat-ayat ahkam (hukum) maupun hadist ahkam (hukum), bukan ayat-ayat tentang kisah, maupun jenis ayat lainnya. 

Dengan demikian, metodologi tersebut ditujukan agar mampu menembus pemahaman yang mendalam dari makna al-Qur’an. Para ulama meletakkan dasar-dasar ilmu ushul fiqh sebagaimana yang terkadung dalam Kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i, Kitab al-Imam as-Syafi’i Nashir as-Sunnah wa-Wadhi’u al-Ushul oleh Imam Abdul Halim al-Jundi, dan lain-lain. Indonesia sendiri juga terdapat ulama yang mengembangkan ilmu ushul fiqh seperti K.H Sahal Mahfud & K.H Afifudin Muhajir.

Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari dasar, kaidah, dalil-dalil ijmali (global), metode yang digunakan dalam istimbat al-ahkam (pengambilan keputusan hukum). Pada dasarnya, ruang lingkup ushul fiqh adalah ilmu yang membahas tentang metode penggalian dan penetapan hukum sehingga menghasilkan produk hukum berupa fiqh, mempelajari dalil-dalil ijmaliyah (global), dan persyaratan seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad.

Baca Juga: https://nu-kulonprogo.or.id/2023/07/01/metode-menentukan-ratio-legis-dalam-qiyas/

Sumber hukum Islam merupakan salah satu substansi pokok dalam pembahasan ushul fiqh. Maka dari itu, perlu memahami pembagian sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sumber hukum yang masuk dalam kategori manshus (wahyu) terdiri dari al-Qur’an dan Hadist. Kemudian sumber hukum ghair al-manshus yang disepakati oleh jumhur ulama (al-adillah al-muttafaq ‘alaih) terdiri dari Ijma’ dan Qiyas. Selain itu, terdapat sumber hukum yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama (al-adillah al-mukhtalaf fiha) seperti: istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, sadd al-zariyyah, istishab, dll.

Dalam memahami al-Qur’an tidak bisa hanya dibaca secara tekstual, karena ayat-ayat al-Qur’an memiliki keanekaragaman yang terdiri dari:

لامر النهي, العام الخاص, مجمل مبين, الظاهر, المطلق المقيد, الناسخ والمنسوخ, محكمة ,متشبهة, حققي مجازي

Ada ayat yang bertipe muhkamah, mutasyabihah, ‘am-khas, muthlaqah-muqayyad, haqiqi-majazy, nasikh-mansukh, mujmal-mubayyan, dan amr-nahi. Al-Qur’an secara redaksional dan makna yang dikandungnya bersifat qath’iyyu al-wurud, maksudnya adalah lafaz al-Quran dan pesan yang dikandungnya terjamin keautentikan dan otoritas kebenarannya. Keautentikan tersebut terjamin karena transformasi periwayatannya secara keseluruhan mencapai tingkat mutawatir. Berbeda dengan keautentikan al-Qur’an pada aspek al-Ahkam, petunjuk hukum ayat-ayat al-Qur’an sebagian bersifat tegas (qath’iyyu al-dalalah) dan sebagian lainnya bersifat tidak tegas (zhanniyyu al-dalalah).

Ayat-ayat al-Qur’an tentu memiliki banyak karakteristik, namun dalam tulisan ini hanya menguraikan sebagian kecil dari tipe-tipe ayat. Pertama, ayat muhkamah adalah ayat yang dari segi kebahasaan memiliki satu makna yang jelas dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna yang lain. Kemudian, ayat mutasyabihah adalah ayat yang belum jelas maknanya dan boleh jadi bisa disebut multitafsir, sehingga menuntut perenungan yang mendalam dari para ahli agar diperoleh pemaknaan yang tepat sesuai dengan ayat-ayat muhkamah sebagaimana firman Allah Q.S Taha ayat 5,

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

 “Dzat yang Maha Pengasih (Allah) bersemayam diatas Arsy”

Lafal “istawa” memungkinkan beberapa makna bahkan sampai 20 makna. Misalnya, sebagian ulama menafsirkan “istawa” sebagai sifat agung, menguasai, dan lain-lain. Metode untuk menyikapi ayat-ayat mutasyabihah ada 2 macam yaitu metode tafwidl (ta’wil ijmali) dan metode ta’wil tafshili.

Selanjutnya, perihal majazi dapat dipecah menjadi 4, yaitu majaz ziyadah, majaz nuqshan, majaz naql, dan majas isti’arah. Hal ini bisa dilihat dalam Kitab Syarah Waraqat yang menyatakan:

والمجاز اما ان يكون بزيادة ونقصان او نقل او استعارة فالمجال بالزيادة مثل قوله تعالى: ليس كمثله شيء  فالكاف زاىدة والا فهي بمعنى مثل فيكون له تعالى مثل وهو محال والقصد بهذا الكلام نفيه

Dalam syarah tersebut dikatakan contoh ayat majaz ziyadah (penambahan) adalah firman Allah (ليس كمثله شيء) “Tidak ada sesuatu pun serupa dengan Dia (Allah)” huruf al-Kaf dalam kalimat tersebut bermakna ziyadah (tambahan) dan tidak memiliki arti. Karena apabila tidak demikian, maka huruf al-Kaf memiliki makna menyerupai. Sehingga akan muncul pemahaman “ada sesuatu selain Allah yang menyerupai Allah” persepsi demikian menyalahi prinsip tauhid (muhal). Padahal tujuan dari ayat (ليس كمثله شيء) adalah menafikan perkara yang menyerupai Allah.

Baca Juga: https://nu-kulonprogo.or.id/2023/06/24/tinjauan-hukum-islam-terhadap-konsep-islam-nusantara/

Sementara terkait ayat amr (perintah), para ulama sepakat bahwa amr terdiri dari beberapa macam, misalnya Al-Amidi menyatakan bentuk amr ada 15 macam. Dengan demikian, tidak semua bentuk ayat amr (perintah) merupakan kewajiban atau anjuran, tetapi juga bisa bermakna mubah, makruh, dan lain-lain, adapun ilustrasi dari bentuk amr misalnya:

  • Amr yang menunjukkan suatu kewajiban

اقيموا الصلاة واتوا الزكاة

“Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat”

  • Amr yang menunjukkan hukum jawaz (boleh mengerjakan dan meninggalkannya)

كلوا من الطيبات ما رزقناكم

“Makanlah sesuatu yang baik dari rezeki yang telah diberikan dari Allah”

  • Amr yang menunjukkan doa (permohonan)

ربنا افتح بيننا وبين قومنا بالحق وانت خير الفاتحين

“Wahai Tuhan kami, berilah keputusan dan pencerahan kepada kami dengan hak (adil), Engkaulah sebaik-baik pemberi keputusan.”

Dengan demikian, dalam memahami al-Qur’an tidak cukup hanya membaca terjemahan tekstual saja. Karena tidak semua ayat al-Qur’an memberikan petunjuk secara jelas (qath’iy ad-dalalah), melainkaan banyak banyak tipe ayat seperti mutasyabihah, majazy, nasikhmansukh, dan lainnya. Ayat-ayat tersebut tentu membutuhkan berbagai kerangka keilmuan dalam memahaminya, terutama kerangka ushul fiqh. Sehingga umat Islam mampu memahami ayat-ayat al-Quran sampai pada pemahaman yang mendalam serta mampu menjawab berbagai permasalahan kontemporer yang berkembang saat ini.

Daftar Pustaka

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, disyarah dan ditahqiq oleh Abdullah Darraz, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah.

Jalaluddin al-Mahalli, Syarah Kitab Waraqat fi Ushul al-Fiqh,

Nailul Huda, dkk, 2014, Jam’u al-Jawami’: Kajian dan Penjelasan Dua Ushul. Lirboyo: Santri Salaf Press.

Nur Rohmad, Metode Memaknai Ayat Mutasyabihat atau Belum Jelas Maknanya, https://Islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/metode-memaknai-ayat-mutasyabihat-atau-belum-jelas-maknanya-WPfhh diakses pada tanggal 29 Juni 2023, Pukul: 22:33 WIB.

Said Agil Husin Munawar, Membangun Metodologi Ushul Fiqh (Telaah Konsep Nadb wal-Karahah dalam Istimbat Hukum Islam), Jakarta: PT Ciputat Press, 2004.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button