Oleh: Mudrikah (Anggota Dept. Kaderisasi PC IPPNU Kulon Progo)
Al-Qur’an dan Hadist merupakan pedoman sekaligus sumber hukum (teks, manshus) bagi umat Islam, namun kedua sumber hukum tersebut masih cukup terbatas dalam menjawab berbagai persoalan yang ada. Seiring dengan perubahan dinamika kehidupan yang berkembang pesat, muncul berbagai permasalahan yang tidak diuraikan secara eksplisit di dalam nash. Sehingga perlu metode aqliyah sebagai solusi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut yakni salah satunya dengan metode qiyas.
Menurut ulama ushul, qiyas adalah menyamakan sesuatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nash hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nash hukum, karena adanya persamaan dalam ‘illat hukumnya. Dengan demikian, qiyas didefinisikan sebagai penerapan hukum analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan ‘illat, sehingga memiliki konsekuensi untuk menetapkan hukum yang sama. Qiyas sebagai salah satu metode aqliyah dalam istinbat al-ahkam yang memiliki landasan kuat karena melalui penalaran yang disandarkan kepada nash. Dasar hukum metode qiyas terdapat dalam Q.S an-Nisa’ ayat 59:
ايها الذين امنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول والى الامر منكم فاءن تنازعتم في شيء فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليومً الاخر ذلك خير واحسن تاويلا
Dari ayat di atas yang perlu digarisbawahi adalah lafal فاءن تنازعتم في شيء فردوه الى الله والرسول “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” yang dimaksud kalimat ini adalah perintah untuk menganalisis tanda-tanda kecenderungan apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasulnya. Hal ini dapat diperoleh melalui pencarian ‘illat hukum yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas.
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa bagian dilihat dari berbagai segi, dari segi perbandingan antara kekuatan ‘illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat pada furu’ (cabangnya), dapat dibagi menjadi 3 yaitu qiyas aulawi, qiyas musawi, dan qiyas al-adna. Qiyas aulawi adalah qiyas yang hukum far’u-nya lebih kuat dibandingkan hukum ashl. Sedangkan qiyas musawi adalah qiyas yang hukum far’u-nya sama dengan hukum ashl. Sementara qiyas al-adna adalah qiyas yang hukum far’u-nya lebih lemah dibandingkan dengan hukum ashl.
Adapun qiyas dilihat dari segi kejelasannya ‘illat sebagai landasan hukum dapat dibagi menjadi 2 yakni qiyas jali dan qiyas khafi. Qiyas jali adalah qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan oleh nash bersama dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan ‘illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashal dengan far’u. Semenatara qiyas khafi adalah qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan secara langsung oleh nash, misalnya meng-qiyaskan pembunuhan dengan benda tumpul terhadap pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukuman qishas.
Mazhab Syafi’i sebagai mazhab yang paling banyak dianut oleh umat Islam di Indonesia memiliki karakter yang kurang mengunggulkan landasan maslahah. Dalam hal ini, tidak diperoleh penegasan dalam nash, tetapi cenderung menggunakan metode qiyas (analogi). Oleh karena itu, Imam Syafi’i sering membahas istilah ‘illat (alasan hukum, ratio legis).
Baca Juga: https://nu-kulonprogo.or.id/2023/06/24/tinjauan-hukum-islam-terhadap-konsep-islam-nusantara/
‘Illat merupakan unsur terpenting dibandingan dengan rukun qiyas lainnya. ‘Illat merupakan sifat yang menjadi landasan hukum ashl, ‘illat haruslah berbentuk sifat hakiki yang dhahir (jelas) dan mundhabit (dapat diketahui batas-batasnya), atau sifat ‘urf (customary law) yang muttharid (berlaku umum). Hukum yang dihasilkan melalui qiyas tidak boleh bertentangan kepada maslahah yang tidak jelas parameternya. Sebagai ilustrasi, ketika musafir bepergian jauh (sekitar 85 km) diperbolehkan untuk menjalankan sholat jamak qashar. Imam Syafi’i menggunakan ‘illat yang jelas yaitu bepergian dengan jarak tertentu karena ‘illat tersebut memenuhi syarat mundhabit. Mazhab Syafi’i menolak musyaqqah (kesulitan) sebagai ratio legis diperbolehkannya sholat jamak qashar karena ukurannya tidak tegas. Selain itu, musyaqqah juga bersifat relatif (kadar setiap individu berbeda).
Hal demikian, seolah-olah tidak memberi keadilan ketika seorang pemuda bepergian jauh (lebih dari 85 km) menggunakan mobil yang ber-AC atau menggunakan pesawat, mereka diperbolehkan melakukan shalat jamak qashar. Sementara orang miskin yang jalan kaki atau hanya memakai kendaraan seperti sepeda yang menguras banyak tenaga dengan jarak di bawah 80 km, mereka tidak diperbolehkan sholat jamak qashar. Dalam hal ini, hukum harus ditetapkan sesuai dengan persyaratan ‘illatnya.
Para ulama ushul menggunakan qiyas sebagai metode penggalian hukum (istimbat al-ahkam), meskipun terdapat sebagian ulama yang ikhtilaf dalam memandang keabsahan qiyas itu sendiri. Salah satu unsur penting dalam qiyas adalah ‘illat. Maka dari itu, penting untuk mengetahui metode dalam menggali atau mengetahui ‘illat hukum. Para ulama berbeda pendapat terkait jumlah metode penentuan ‘illat (masalik al-‘illat), ada yang mengatakan tiga, sembilan, dan sepuluh.
Sepuluh macam metode tersebut terdiri dari Ijma’, Nash, Ima’, Sabru wat-Taqsim, Munasabah, Sabah, Dauran, Thard, Tanqih al-Manath, dan Ilghau al-Fariq. Pertama, menelaah ‘illat dalam nash (teks), ‘illat adakalanya sharih (jelas) dan ghair as-sharih (bil-ima’ wal-isyarah, ‘illat sharih biasanya menguraikan ratio legis dalam nash secara langsung (dengan lafal li ajli, li ‘illati, li sababi). Kedua, ‘illat berdasarkan ijma’ para mujtahid pada waktu tertentu, ‘illat tersebut sah berdasarkan ijma’. Ketiga, metode as-Sabru wat-Taqsim, yaitu menganalisis sifat-sifat yang memungkinkan untuk bisa dijadikan ‘illat, kemudian melihat apakah ‘illat tersebut sesuai untuk hukum atau tidak. Setelah itu, menyeleksi sifat-sifat yang telah sesuai dengan aslul qiyas (pokok-pokok qiyas).
Metode as-Sabru wat-Taqsim dilakukan apabila ada nash yang menjelaskan persoalan tertentu, namun tidak ada nash yang menjelaskan ‘illatnya. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi, lalu ia berkata bahwa dirinya melakukan hubungan seksual dengan istrinya pada bulan Ramadhan. Nabi akhirnya memerintahkan untuk membayar kafarat berupa memerdekakan budak, jika tidak mampu diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut, jika masih belum mampu maka diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Dari fakta ini apakah ‘illatnya sekedar membatalkan puasa secara sengaja atau karena berhubungan suami istri? Menjimak istri tentu tidak haram lidzatih. Maka dari itu, para ulama menentukan bahwa yang menjadi ‘illat adalah kesengajaan membatalkan puasa.
Adapun metode penentuan ‘illat yang lainnya tidak dibahas secara komprehensif dikarenakan penulisan ini ditujukan untuk pemahaman dasar bagi pemula, sehingga apabila dijelaskan secara lebih detail sesuai dengan kitab-kitab yang berlevel tinggi dikhawatirkan kurang mudah dipahami. Namun, tiga metode diatas setidaknya memberikan pemahaman terkait dengan qiyas yang perlu diketahui sebagai sumber hukum Islam yang dominan disepakati oleh para ulama.
Daftar Pustaka
Hasan bin Muhammad al-‘Athar, Hasyiah al-‘Athar, Vol. II.
Muhammad Alvin Nur Choironi, Cara Mengetahui ‘Illat Hukum, https://Islam.nu.or.id/syariah/cara-mengetahui-illat-hukum-ljxVC diakses pada tanggal: 27 Juni 2023 Pukul 23:35 WIB.
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilmi al-Ushul, Damaskus: ar-Risalah, 2010.
Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2007.
Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008.