ArtikelArtikelIPNUKeislaman

Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep Islam Nusantara

Oleh: Alfaenawan (Anggota Dept. Kaderisasi PC IPNU Kulon Progo & Kader PMII Rayon Ashram Bangsa)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, tradisi, dari berbagai suku dan etnis sehingga Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan budaya di Timur Tengah mapun negara-negara barat. Pada dasarnya, Islam Nusantara bukanlah mazhab baru, bukan fiqoh yang ingin memisahkan diri dari kelompok umat Islam yang lain. Tetapi, Islam Nusantara adalah pengamalan ajaran Islam dengan mempertimbangkan tradisi atau budaya lokal. Sehingga dalam hal-hal di luar substansi, mampu mengekspresikan model ber-Islam yang khas Indonesia dan membedakan dengan mode Islam di Timur Tengah yang cenderung ekstrim maupun negara-negara barat yang cenderung sekuler. Jadi, Islam Nusantara adalah khasais (keistimewaan, tipologi, ciri khas) yang membedakan antara umat Islam bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain.

Secara historis, tipologi Islam Nusantara telah lama terwujud di wilayah nusantara. Pada dasarnya konsep Islam Nusantara sudah ada sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai buku yang berjudul Islam Nusantara karya M. Abdul Karim, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal karya Azyumardi Azra, dan lain-lain. Menurut K.H Said Aqil Siradj, Islam Nusantara sebagai pemikiran yang berlandaskan pada sejarah Islam yang masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, tetapi melalui jalur kompromi terhadap budaya sebagaimana yang telah diajarkan oleh para wali terdahulu.

Adanya konsep Islam Nusantara membawa peran yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi umat Islam di Indonesia, terutama dalam hal pengembangan budaya (tradisi) luhur bangsa dan pembentukan integritas bangsa Indonesia. Namun, bagaimana legitimasi dari terminologi Islam nusantara tersebut?

Dasar hukum terminologi Islam Nusantara dapat dilihat dari segi falsafah tasyri’ dan juga falsafah syariah. Salah satu bagian dari falsafah tasyri’, yaitu qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) yang berbunyi:

  العادة محكمة

“Kebiasaan (tradisi) dapat memiliki legitimasi hukum.”

Kaidah ini merupakan kaidah induk (qawa’id al-asasiyah) yang mendukung adanya adat masyarakat (tradisi, ‘urf). Kaidah ini tidak serta merta muncul tanpa landasan, melainkan dalam hadist Nabi yang menyatakan:

ما راه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن

“Suatu hal yang dipandang baik bagi kaum muslim, maka baik juga di hadapan Allah.”

Atas dasar hadist ini, maka disusun kaidah yang memberikan landasan terhadap kebiasaan masyarakat (tradisi, ‘urf, al-‘adat) selama jelas-jelas tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah (al’adat as-shahih), maka dapat dijadikan sebagai hujjah (dasar hukum). Kemudian kaidah asasiyah berkembang yang selanjutnya disebut dengan kaidah furu’iyah (kaidah cabang) yang terdiri dari:

تغير الفتوي واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة والاحوال والعوائد والنيات

“Perbedaan fatwa hukum dipengaruhi oleh perkembangan zaman, perbedaan tempat, kondisi, kebiasaan (tradisi) dan tujuan (maqasid).”

الاحكام المبنية على العرف تتغير بتغيره زمانا ومكان

“Hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (tradisi) dapat berubah sesuai dengan perkembangan tradisi tersebut.”

الثابت بالعرف كالثبت بالشرع

“Sesuatu yang ditetapkan atas dasar ‘urf (tradisi) sama halnya dengan ketetapan hukum syar’i.”

استعمال الناس حجة يجب العمل بها

“Perbuatan masyarakat dapat dijadikan hujjah (dalil) yang mewajibkan suatu amalan.”

انما تعتبر العادة اذا اضطردت اوغلبت

“Adat dapat dianggap dasar istimbat al-ahkam hanya apabila telah menjadi kebiasaan terus-menerus, aghlabiyah, & aktsariyah.”

Apabila melihat historisitas para ulama dalam berijtihad, seperti Imam Abu Hanifah, beliau cenderung mempertimbangkan kebiasaan masyarakat (tradisi, ‘urf, al-‘adat) Irak dalam melakukan istimbat al-ahkam (penetapan hukum Islam). Kemudian muridnya yaitu Imam Malik juga mempertimbangkan tradisi ulama-ulama Madinah. Begitu juga dengan Imam Syafi’i yang memiliki dua pendapat berbeda, yaitu qaul qadim (di Baghdad) dan qaul jadid (di Mesir). Dengan demikian, faktor tradisi setempat dan perkembangan budaya tertentu turut mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum.

Sementara secara terminologi, pengertian Islam Nusantara sama dengan pengertian Islam pada umumnya sebagai agama (ajaran, doktrin, wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara Malikat Jibril. Sedangkan penambahan istilah nusantara merupakan tarkib idhafi, yaitu Islam yang terinternalisasi dalam kehidupan muslim Indonesia dan ajaran Islam yang mampu berdialetika bersama budaya (tradisi) dan peradaban Indonesia (local wisdom). Sementara ruang lingkup Islam Nusantara adalah menginterkoneksikan dan mengintegrasikan antar peradaban yang terdiri dari peradaban teks, peradaban ilmu & budaya, dan peradaban lokal. Adapun pokok-pokok yang dikaji dalam Islam Nusantara antara lain: genealogi keilmuan, kajian tentang budaya dan karakter masyarakat Indonesia, sanad ilmu, forum ilmiah seperti bahtsul masail, pranata sosial Islam di Indonesia, sosiologi, antropologi, historigrafi, hukum, politik, dan berbaagai aspek lainnya yang ada di Indonesia.

Konsep Islam Nusantara tidak hanya mengakomodasi budaya dan kearifan lokal, melainkan Islam Nusantara juga mengedepankan prinsip-prisip yang terdiri dari: Tawasuth, Tasamuh, Tawazun, Ta’awun, Amar ma’ruf nahi munkar, dan Ta’addul. Artinya, setiap muslim harus memiliki sikap moderat, tidak ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik dalam kehidupan, kerja sama antar individu dan kelompok, menghargai, serta menghormati terhadap realitas sosial,

Berbagai prinsip tersebut sejalan dengan teori falsafah syariah yang disebut dengan mabadi’ al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam) dan juga thawabi’ al-ahkam (karakter hukum Islam). Islam merupakan agama universal, mengedepankan humanisme, dan memiliki ruang bagi kontektualisasi, sehingga Islam tetap sebagai agama yang relevan sepanjang masa. Dalam konsep Islam rahmatan lil-‘alamin, Islam dijadikan sebagai agama yang humanis, ramah, mengedepankan toleransi beragama, dan menghormati berbagai perbedaan karena khilafiyah merupakan suatu keniscayaan. Maka dari itu, Islam Nusantara sebagai praktik keIslaman di Indonesia cenderung mengedepankan nilai-nilai mabadi’ al-ahkam (prinsip-prinsip hukum Islam) selama tidak bertentangan dengan syariah. Namun, apabila ada budaya yang bertentangan dengan nash. Maka, dalam menghadapinya perlu berbagai pendekatan sebagaimana para Wali Songo dalam menjalankan dakwah di Nusantara yaitu dengan mengedepankan asas-asas Taqlil al-Takalif, Tadarruj fi-Tasyri’ dan ‘Adam al-Haraj.

Dari berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang mengedepankan perdamaian, akhlak al-karimah, dan prinsip moderat (tawasuth), bersikap tawasuth dan tawazun dalam mengahadapi paham-paham ekstrim dan sekuler, menerima budaya lokal selama tidak bersebrangan dengan prinsip-prinsip syariah, mengedepankan dialektika antara teks (syariah) dengan realitas dan budaya setempat, menyeimbangkan (tawazun) dalil naqli (wahyu) dan metode aqliyah (rasio), sehingga melahirkan harmonisasi antara agama, budaya (tradisi), kearifan lokal (local wisdom), dan bangsa Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip paham Aswaja.

Daftar Pustaka

Syamsul Hilal, “Qawa’id Fiqhiyah Furu’iyah Sebagai Sumber Hukum Islam”, Jurnal al-Adalah, UIN Raden Intan Lampung, Vol. XI, No. 2, Juli 2013

Said Aqil Siradj, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.

Faisar Ananda, Filsafat Hukum Islam, Cipta Pustaka, 2007.

Dusli Ibrahim, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, Noer Fikri: Palembang, 2019.

Alfaenawan, “Konsep Tasamuh dan Tawasuth dalam Islam”, 22 Juni 2023, https://www.kompasiana.com/alfaenawan49398/61e4c1544b660d78593afe12/konsep-tasamuh-dan-tawasuth-dalam-Islam

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button